Sabtu, 05 Desember 2015

AWIG-AWIG SEKA TRUNA

Awig-Awig Seka Truna 



Om Awignamastu Nama Sidham
         Madasar antuk manah susrusa suci nirmala tanpa leteh, sembah pangubhaktin titiang Seka Truna Satmacita, ring yun Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sane ngawiwenang ring jagate saka lalaniskala. Wantah sayu wakti, ngumanti saking pasuecan Ida ngicenin sinar waranugraha, prasida anggen titiang maka sasuluh, ngamolihang ambah pamargi sajeroning ngrajegang seka truna satma cita banjar Kelandis, Desa adat Pagan. 
          Seka Truna Satma Cita, wewidangan Banjar Kelandis, desa adat Pagan, desa  Sumerta kauh, Kecamatan Denpasar Timur, duk tanggal 15 Juli 1987, ring Banjar Kelandis, Giliksaguluk saha susrusa ngamanggehang awig-awig sane witipun maran anggaran dasar lan anggaran rumah tangga Seka Truna Truni Satma Cita, sakadi ring cakepan alit puniki. Awig-awig puniki maka panuntun warga Seka Truna Satma Cita sinamian mangda mangguhang Dharma Prakerti malarapan antuk Pancasila, Undang-undang Dasar, 1945 miwah sagiliksaguluk, paras-paros sarpanaya, salungling sabayantaka, saling asah saling asuh, astiti yembar darma agama.
           Asapunika pangastin titiang sakataning warga seka truna satma cita, wit saking raksa rumaksa paras-paros sajeroning ngingkupang pakayunan, bebaosan miwah pangalaksana ngarcana awig-awig puniki maka sepat siku-siku pamargin sena.

           Dumadak ngamangguhang kejagat hitan.

Kelandis, 15 Juli 1995
Prajuru Seka

Senin, 16 November 2015

TRADISI MENCABIK MANYAT "MESBES BANGKE"

 MESBES BANGKE

Tradisi yang cukup ekstrim, seram dan cukup aneh masih berlaku di salah satu Desa Tampaksiring – Gianyar. Bagi masyarakat awam yang tidak mengetahui dan baru melihat bahkan mendengar akan merasakan kepiluan bila melihat tradisi mencabik mayat atau yang lebih dikenal dengan “Mesbes Bangke” yang dilakukan oleh warga di Desa Tampaksiring.

Tradisi Mesbes Bangke ini dilakukan dengan menggunakan tangan, bahkan ada yang menggunakan gigi. Setelah tiba di sungai dekat kuburan, para pencabik melepaskan mayat dari joli untuk dipermainkan. Mayat dibawa lari kesana-kemari. Setelah para pencabik capek, barulah mayat dikremasi.
Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring, Gianyar mengungkapkan pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap ada warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.
Di Desa Tampaksiring ada sistem ngaben secara kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang meninggal itu dikubur dan tentunya semua itu dilakukan berdasarkan hari baik. Saat ngaben pribadi inilah, tradisi “Mesbes Bangke” itu dilaksanakan.
Mesbes Bangke
Sebenarnya tidak ada sastra tertulis yang menyebutkan tentang keberadaan tradisi ini. Menurut penuturan para tetua di Banjar Buruam. tradisi ini muncul karena pada jaman dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat baunya sangat menyengat sehingga warga tidak bisa membawa ke kuburan. Dengan kondisi tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama mengarak sambil mempermainkan mayat tersebut. Tujuannya agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap (mempermainkan mayat) inilah yang dilakukan oleh warga.
Saat ngarap warga tidak memandang stratifikasi sosial. Apabila mereka menggunakan sistem ngaben personal untuk upacara Pitra Yadnya, tetap akan diperlakukan sama. Namun jika yang meninggal adalah pemangku atau sulinggih, maka dilakukan taktik supaya tidak ngarap, yaitu dengan menggelar ritual mekingsan ring gni.
Yang boleh ikut dalam tradisi ini adalah hanya warga setempat. Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya bisa fatal, secara tidak sadar massa akan mengeroyok orang tersebut.
Sebelumnya, tahun 1980-an, tradisi ngarak ini, mayat sampai dikeluarkan dari kaputnya. Namun, kini tradisi ngarap sudah sedikit tidak terlalu ekstrem. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak keluarga dan prajuru banjar melapisi mayat dengan banyak pembungkus. Diantaranya, tikar, kain, diikat rantai lebar 5 cm dan dibungkus lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.
Pembungkusan itu juga bertujuan untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa tahu semasa hidup, orang yang meninggal tersebut mempunyai penyakit menular.

 

CIUMAN MASAL ANAK MUDA BALI

OMED-OMEDAN

Hari Raya Nyepi memang telah berlalu belum lama ini, tapi ada satu ritual setelahnya yang masih menyisakan kesan menarik. Pernahkah kamu mendengar kata Omed-omedan? Kata ini mungkin masih asing bagi sebagian orang. Tapi ternyata tradisi Omed-omedan di Bali adalah sebuah tradisi yang juga berhasil memikat perhatian wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.
Secara harfiah, omed-omedan berarti tarik-menarik. Omed-omedan adalah tradisi turun temurun yang telah dilakukan oleh kelompok warga (atau disebut dengan “Banjar”) Kaja, Desa Adat Sesetan, Denpasar Selatan, Bali. Saat ini, tradisi yang konon telah ada sejak abad ke-17 diartikan sebagai tradisi ciuman massal antara pemuda dan pemudi yang dilakukan setelah Hari Raya Nyepi.


Awal mula tradisi omed-omedan
Seperti ritual lainnya, kemunculan omed-omedan juga bukan tanpa kisah. Konon, tradisi unik ini berawal dari kisah di kerajaan kecil di daerah Denpasar Selatan. Suatu hari, seorang raja yang sedang sakit merasa terganggu oleh suara gaduh yang bersumber dari permainan anak laki-laki dan perempuan yang sedang bermain dan saling tarik.
Berang dengan suara bising, sang raja pun keluar dengan maksud menghentikan keributan tersebut. Tapi yang terjadi justru di luar dugaan. Alih-alih mengeluarkan amarah, sang raja justru tiba-tiba merasa sehat dan sembuh total. Karena itulah, sang saja menyerukan supaya tradisi omed-omedan digelar setiap tahun setelah Nyepi, yaitu pada hari Ngambek Geni.


Pelaksanaan omed-omedan, melibatkan muda mudi di Banjar Kaja
Dalam tradisi ini, muda-mudi dipecah menjadi dua kelompok, yakni kelompok laki-laki (teruna) dan perempuan (teruni). Sebelum melakukan ritual, semua peserta wajib mengikuti upacara atau sembahyang bersama di Pura Banjar, di mana mereka akan dipercikkan air suci.  Dalam sembahyang ini juga dipertunjukkan tarian ritual yang dimaksudkan untuk keselamatan, agar pelaksanaan acara ini senantiasa lancar tanpa halangan apapun.
Kedua kelompok ini kemudian baris berhadapan dengan dipandu pecalang. Setelahnya, secara bergantian dipilih seorang dari masing-masing kelompok untuk diangkat dan diarak. Kedua muda-mudi yang berada di posisi terdepan harus saling berpelukan dan berciuman. Ciuman ini akan berhenti setelah tetua adat membunyikan peluit atau menyiramkan air kepada peserta.
Namun, tradisi omed-omedan ini kabarnya pernah dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan adat ketimuran. Tapi karena dianggap sakral, muncul kekhawatiran akan terjadi hal yang tidak diinginkan menimpa warga jika tradisi ini tidak diteruskan. Peserta acara omed-omedan juga tidak sembarangan; mereka yang mengikuti omed-omedan wajib berusia 17 – 30 tahun, atau yang sudah dewasa namun belum menikah.
Omed-omedan ini berlangsung sekitar 2 jam atau hingga seluruh peserta mendapat kesempatan untuk melakukan omed-omedan. Tak hanya peserta yang menikmati keseruan ini, rupanya penonton juga ikut berpartisipasi memeriahkan acara. Setiap penggelaran omed omedan, banyak penonton yang saling berdesakan menyaksikan tradisi unik ini juga tak luput dari siraman air yang dilakukan panitia acara. Memang, panitia juga menyiram penonton yang dianggap mengganggu ketertiban jalannya acara, meski hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah karena acara berlangsung sangat meriah.


Omed-omedan, tradisi penyambung silaturahmi dan penarik wisatawan
Tak semata-mata sebagai ritual, tradisi omed-omedan juga dianggap sebagai wujud silaturahmi sesama warga, ajang menjaga keharmonisan dan solidaritas masyarakat. Karena kesibukan warga bekerja dan sekolah setiap hari, maka waktu untuk bertemu dengan warga sekitar terbatas. Melalui kesempatan inilah mereka bisa menjaga keakraban antar warga.
Terlepas dari segala kontroversi terkait tradisi ini, omed-omedan tetap dijalankan sampai sekarang. Bahkan tradisi ini sukses menarik minat wisatawan lebih banyak setiap tahunnya. Acara ini juga dianggap menjadi objek menarik bagi kalangan wisatawan yang tertarik dengan kultur tradisional unik maupun penggemar fotografi dan para wartawan yang berlomba-lomba mengabadikan momen langka tersebut.


Sumber : www.pegipegi.com › Beranda › Tempat Wisata › Event & Festival

Minggu, 15 November 2015

GEGURITAN



Geguritan Jayapranane karipta tahun 1664 saka ( 1742 M ), matembang pupuh Ginada. Geguritan Jayapranane, dados babos karya seni teosan : seni lukis, lelampahan Arja, lelampahan drama panggung, lelampahan drama gong, muah lelampahan Sendratari, lelampahan film.

PUPUH GINADA
     1.   I Jayaprana manyembah,
           Sampun ko titiang ngalingling,
           Wenten asiki kemaon,
           Tuhu rupan yane ayu,
           Kocap pianak De Bendesa,
           Uli kangin,
           Magenah ring banjar sekar. 
      2.    Anake agung ngandika,
            Buin pidan melah ngambil?
            De Sengguhu matur alon,
            Kocap malih wulu liku,
            Anggara Manis Kuningan
            Lintang becik,
            Sasih Kapitu irika.
3.     Prebekele saur sembah,
      Prebekele I Saunggaling,
      Wiakti nika ne kebaos,
      Dina sasih pada ayu,
      Anake agung manyurat,
      Lingging tulis,
      Maman Bendesa kanginan
4.  Aku ngandika ken maman,
     Apang suka maman nampi,
     Pianak Maman Ni Nyoman,
     Ia jani idih Ayu,
     Apang suka Maman,
     Pianak kalih,
     Tekening I Jayaprana. 
5.    Di Kapitune kajuang,
     Buin wulu likur jani,
     Apang de Maman kemengan,
     Ceririne suba munggah,
     Sampun usan ida nyurat,
     Linging tulis,
     Kadi arep ya kocapan.
    6.        I Jayaprana kapica, 
           Raris manunas mapamit,
           Tumuli majalan reko,
           Manganginang lampah,
           Tan kocapan ia dijalan,
           Sampun prapti,
           Kangin di banjaran Sekar.
7.      Ngojog kumah De Bendesa,
     I Jayaprana mangraris,
     De Bendesa lanang wadon,
     Maderek sareng malungguh,
     Pianaknyane ia di tengah,
     Saget prapti,
     Parekan I Jayaprana
8.     Ni Layonsari kacingak,
     Laut masawang ke bilbil,
     Tumuli tuun maserot,
     Yeh matane deres pesu,
     Mulihan ngubet jalanan,
     Laut ngeling,
     I Jayaprana menekan.

PIDARTA BAHASA BALI



PERPUSTAKAAN MAPIKENOH NINCAPANG KAUNINGAN NGWACEN


            Ibu guru miwah para semeton sami sane baktinin titiang, Sadereng nglanturang matur, lugrayang riin titiang ngaturang panganjali umat "Om Swastiastu"
Ibu guru miwah para semeton sami sane baktinin titiang,
            Pangayubagia aturang titiang majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, duaning sangkaning sih asung kerta wara lugrahan Ida, mawinan titiang pingkalih ida-dane sida mangguh karahajengan, kacunduk rahinane mangkin. Gargita manah titiang riantuk kapaica galah matur samatra nganinin indik "Perpustakaan Mapikenoh Nincapang Kauningan Ngwacen".
            Yening pikayunin, makasami anake sane naenan ngranjing ring pendidikan formal sampun ngawikanin indik napi perpustakaan punika. Perpustakaan mawit saking kruna pustaka sane mateges buku–buku miwah saluir bacaan tiosan. Anake utawi lembaga, sane akeh madue buku, raris buku bacaan punika kagenahang ring ruangan sane gumanti khusus pinaka ruang baca, ruangan punika kabaos perpustakaan. Duaning asapunika metu raris parinama minakadi perpustakaan pribadi, perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan daerah, miwah perpustakaan nasional.
            Ibu guru miwah para semeton sinamian sane kasumayang titiang,
            Sajeroning pidabdab nincapang kualitas sumber daya manusia, taler nincapang pangweruhan para sisiane, nenten pisan dados kakirangan bahan bacaan. Bacaan punika maka sarana utama sane mawinan para sisiane pacang sayan–sayan wikan. Sering piragin titiang anake maosang, perpustakaan risaksat gudang ilmu pengetahuan. Perpustakaan taler kabaos jantungnyane lembaga pendidikan. Yening lembaga pendidikan nenten madue perpustakaan, tan pendah kadi ajeng–ajengan tan patasik, waluya telaga tan madaging toya. Punika mawinan perpustakaan patut titenin, duaning mabuat pisan pinaka unit pelayanan teknis ring widang pendidikan. Yadiastun kauningin perpustakaan punika penting, akeh kocap pejabate sane kirang lingu ring perpustakaan. Yening maosang dana pengembangan perpustakaan, katos pisan kocap jinahe sida kamedalang. Akeh perpustakaan sane nenten kalinguang, komputer taler nenten madue. Samaliha, sering perpustakaan punika kaanggen pinaka pelengkap penderita, kadi angganing gudang rongsokan buku. Yen wenten pegawe sane ngalaleng miwah nenten becik, entunganga sampun ka perpustakaan. Punika cihnane perpustakaan kantun kirang polih uratian.
            Ibu guru miwah para sameton sami sane banget baktinin titiang
            Yening uratiang kahuripan parajanane ring Bali, pamekas sane maagama Hindu saking dumun sampun lingu pisan ring napi sane kabaos pustaka. Wenten Piodalan Sang Hyang aji Saraswati maka buatan bhakti ring sang ngawisesayang ilmu pengetahuan. Satunggil Saniscara Umanis Watugunung buku–bukune kaupakarain, kabantenin mangda sang nruenang sida kasaraswatian. Pidabdabe puniki manut ring kecap sastrane munguing "Buku adalah Gudang Ilmu". Napi ke patut bukune pinaka maka gudang ilmu? Inggih patut. Sapunapi tata carane mangda iraga wikan? Elingang malih asiki! "Membaca adalah Kuncinya". Patut wacen buku punika. Yadiastun akeh madue buku, madue gudang ilmu, yening nenten seneng ngwacen, janten ilmune punika nenten pacang kamolihang.

            Mantuk ring punika wenten malih slogan sane luihing utama "Tiada hari tanpa membaca, Tiada hari tanpa belajar, Long life education, belajar sepanjang kehidupan". Tegasnyane, yening Ida dane meled dados anak wikan meled mangda sukses ring widang pendidikan, ngiring "Taki–takining sewaka guna widya". Siagayang ragane nincapang kaonengan lunga ka perpustakaan! Anake sane sering ka perpustakaan samaliha seneng ngwacen buku, janten pacang gelis saha akeh ngamolihang akeh ngamolihang pangweruhan.
            Ibu guru miwah sameton sami sane baktinin titiang
            Duaning mabuat pisan kawigunan perpustakaan punika, perpustakaan siaga ngicenin palayanan sane becik saha madue buku–buku sane jangkep. Yening perpustakaan nenten becik miwah nenten jangkep, pacang mapuara murid–muride males ka perpustakaan. Perpustakaan patut kapidabdabin antuk tata cara sane kabaos profesional. Para pejabat, staf administrasi miwah pustakawan sane makarya ring perpustakaan taler mangda katincapang pangweuhannyane, katincapang tunjangannyane gumanti prasida ngicenin pelayanan sane becik. Yening SDM perpustakaan sampun wikan, terdidik, miwah terlatih saha gajih miwah tunjangannyane sampun manut ring pangaptinnyane, janten pacang kayun makarya sane rajin tur jemet. Punika mawinan perpustakaan pacang sida ngawetuang panuldul utawi daya tarik sane gumanti sida meningkatkan minat baca, nincapang kaonengan ngwacen ring para sisiane. Sajaba mawinan para sisiane pacang jemet malajahang raga, taler pinaka cihna sareng nglaksanayang program Ajeg Bali. Benjangan, yening wenten malih pidabdab lomba kadi puniki mangda hadiahnyane katincapang! Yening hadiahe ageng, majanten pacang akeh prasida ngarhuin pamilet. Puarannyane para sisiane sayan seneng sareng ngajengang sastra Baline. Menawi sampun kawikanin, yening maosang dana panuntunan nyastra Bali nenten wenten dana sane ageng. Yen wenten anak madue prestasi ring widang olahraga, jeg maembah wenten bonus, sasapunika. Nanging yen anak madue prestasi ring widang nyastra, sampunang ja bonus, kadirasa anak nyambatsara tan ja wentena. Punika mawinan titiang kantun sumenya ring manah. Napi ke yukti – yukti pikayunan druene pacang ngrajengang Bali? Yening yukti, ngirinmg susastra lan budaya Baline anggen dasar! Tincapang uratian, tincapangdana–dana sane mapuara ngrajengeng budaya Baline!
            Inggih para semeton sinamian
            Sane mangkin ngiring sikiang pikayunan druene mangda sumuyug pacang kayun urati utawi lingu ring kawenten perpustakaan. Midapdabin suang-suang perpustakaan sane sampun wentaen mangda kadasarin antuk pikayunan sumeken gumanti perpustakaan punika sida pinaka genah malila cita genah mesandekan, saha genah ngamaosang indik pangweruhan, taler maka genah lomba-lomba , mangda para yowanane sayan seneng rauh ka perpustakaan. Pamuput nyane minat baca, kaonengan ngwacen para yowanane sayan lami sayan nincap, gumanti tetujon nincapang widang pendidikan taler sida kapangguh.
            Para semeton miwah ibu guru sinamian
Asapunika titiang prasida maatur-atur ring galahe sane becik puniki. Matur suksma majeng ring uratian idadane, saha mantuk ring saluir kakirangan atur titiang, lugrahang titiang nunas gung rena pangampura. Inggih puputang titiang antuk parama santih.

"Om Shantih Shantih Shantih Om"



Sabtu, 14 November 2015

Wiracarita ARJUNA WIWAHA ALANTURAN

 ARJUNA WIWAHA ALANTURAN
     Kacerita Arjuna sampun polih waranugraha, ledang kahyane tansinipi, jagi matemu ring sametone sami. Wawu Ida makinkin jagi mantuk, saget wenten rawuh widyadara sareng kalih, sane maparab Sang Airawana miwah Sang Bajrakaryama. Sang Kalih kautus oleh Hyang Indra, makta sewala patra sane malingga tangan Hyang Indra, kuwace miwah sepatu. Dening sewala patra punika, Hyang Indra mikarsa kant, pacang mademang niwatakawacangrusak swargan.
    Dening asapunika Ida tan purun tulak, raring ngaturang bhakti ring pucak Gunung Indrakilane. Sang Arjuna tan lali ring genah polih waranugraha miwah kautaman. Wusan muspa raris gelis lunga ka Kendran, tangkil ring Hyang Indra. Kapanggihin ida malinggih, rikala mabawosan sareng bhagawan wraayati.
     Ring swargan iyur ortine, indik parawuh Sang Arjunane. Para istrine sami angajap tawang, misadya pacang matemu, makadi widyadarine anandirimang. Sang Hyang Indra ngawe pangindrajala, ngutus Sang Arjuna sareng Dewi Suprabha lunga ka Manimantaka, netesin genah kasaktyan niwatakawacane. Sang kalih gelis mamargi nglayang ring ambarane. Ring margi Sang kalih majajar, sami angubdarimang.
     Gelisang crita Sang Kalih sampun rawuh ring manimantaka. Dewi Suprabha ngojog ring taman. Sang Arjuna masi ngidan tur ngintip ring sor taru parijatane. Suprabha meneng ring taman, matemu ring para istrine maseneng-seneng rikala galang sasih. Punika sane nguningayang parawuh Dewi Suprabhane ring niwatakawaca. Niwatakawaca kalintang egar, raris gelis ka taman. Irika kapanggihin ni suprabha mapisendu. Raris kasup olih niwatakawaca saha karumrum. 
     Dewi Suprabha lintang ring pradnyan, matur nyujur manis ngetus kayun, nylempoh ngaturang raga. Sang Arjuna mirengan bawos sang kalih. Dewi Suprabha ngalih asih, nunasang mawinan Sang Prabhu daat mawisesa, ngasorang para dewani sami niwatakawaca keni atur manis kadi madhumembah. Niwatakawaca kaliput antuk seneng, raris nerangang raga saking panugrahan Sang Indra, tan mati olih Dewa, raksasa, tur kasaktyannyane magenah ring tungtunging lidah.
     Sampun tatas kapireng oleh Sang Arjuna, gelis ngunggah ring kori agunge,raris kakupak tur katinjak, mungkah ulangrudag. Sane ring taman sami tengkejut, pajerit sami malaib. Niwatakawaca tengkejut, Dewi Suprabha kalebang. Rikala Niwatakawaca lenga, Dewi Suprabha macebur, kapendah oleh Sang Arjuna, raris manglayang ring ambarane. Wenten nguningayang Dewi Suprabha ical. Niwatakawaca kroda, marasa keni pangdrajala, raris ngatag bala raksasa, gagamaning pecang, ngebug Hyang Indra.
      Kacritayang mangkin, niwatakawaca saha bala sami sampun mamargi. kocap Sang Arjuna sareng Dewi Suprabha sampun rawuh ring kendran, tangkil ring Hyang Indra, nguningayang sampun sabdha karya. Taler kauningang niwatakawaca sampun mangkat saha bala raksasa jagi nglurug swargan.
     Bhatara Indra gelis nginkinang caturangga, prawira miwah prajurit, para dewa sami, raris gelis mangkat kapayudhan. Sang Hyang Indra nglinggihin gajah. panganjarlumampah sang citra gadha, citrasena miwah sang jayanta, kairing olih prajurit makudang kethi, sang citarere pinaka papatih, kairingan tuk widyadhara, paragandharwa miwah para rsi.
      Sampun rawuh ring bongkol Gunung Mahamerune, matemu ring bala raksasane. Irika tumuli sami wirosa mangrajek.Tatempuh wudhane wiakti kalintang terames, luwir sagara macampuh. Sami purusa, silih sempal, salih arug, tuwek tiniwek, pupuh pinupuh, sami padha wirodha tanwenten angucap guntur. Wadwa para dewa miwah raksasa akeh sane pejah, sawane pajlempang awor ring pangkening gajah miwah kuda. rah mili kadi toyanr membah, sane angrasrasin sangatoning. kala punika niwatakawaca ngamuk. Para dewane sami pada lilih.
     Sang Arjuna raris karep matinggal. Saha sang kalih ngadu ksaktyan. Wadwa dewane sami mundur saha tanmarima titisang panah. Niwatakawaca ngubar sambil ngumanuman sang arjuna kabawos manusa nista. Irika Sang Arjuna katunjah antuk comara. Kala punika Sang Arjuna cepet nyambet comara punika kasangkil, raris bah ring krasane mapi-mapi seda. Ritatkala punika tutuk lidah niwatakawacane kapatitis antuk panah Brahamasta. Irika niwatakawaca kedek ngakak, ngenah lidah nyane.
     Kala punika macedar panah Sang Arjunane, ngenain cangkem niwatakawaca, tur katindih antuk panah. Irika niwatakawaca bah, raris padhem. Watek dewatane sami masuryak gumuruh, tur nguber bala raksasane sane malaib patipurug, asing keni kapadhemang. Ledang pisan para dewane sami, tur muji kapradnyanan kalih kasaktian Sang Arjunane. Sami masukan-sekan, kaswargan. Antuk luwih karwinida Sang Arjuna, raris kaicen gancaran oleh Bhatara Indra, mawiwaha ring wiswadhari pitung diri, makadi Dewi Suprabha miwah Dewi Tiletama. Sang Arjuna pitung sasih ring suargan manggih kasukan. Asapunika palaning Sang Ksatria utama anjaya satru, ngawonang sakancan momo angkarane sane ngaleinjagat. Nyandang pisan tulad kapagehin mawih kapurusan Sang Arjunane. Ayu Kinardi Lewih Kangtinemu.